Single photon
emission computed tomography (SPECT)
SPECT membentuk citra transversal
distribusi nuklida pemancar sinar x atau gamma dalam pasien. Citra proyeksi
planar standar diperoleh dari putaran 180° (umumnya SPECT untuk jantung) dan
360° (untuk SPECT bukan jantung). Umumnya SPECT menggunakan satu atau lebih
head/kepala sintilasi kamera yang bergerak mengelilingi pasien.
Dalam tomografi dengan emisi ada 3 keterbatasan fundamental yang harus
diperhatikan. Pertama collection effeciency, radiasi gamma dipancarkan ke
segala arah lapisan, namun hanya yang masuk ke detektor yang dipakai untuk
pencitraan. Oleh karenanya efesiensi sangat terbatas, kecuali bila pasien dapat
dikelilingi oleh detektor. Kedua atenuasi radiasi gamma oleh pasien. Penyederhanaan
telah dilakukan dengan menjumlahkan pencacahan dari dua detektor yang
berhadapan ataupun dari beberapa detektor. Oleh karenanya perlu faktor koreksi.
Namun koreksi atenuasi teliti tidak diperlukan dalam SPECT. Ketiga adalah
masalah umum dalam kedokteran nuklir, yakni waktu koleksi hanya merupakan
fraksi waktu radiasi gamma dipancarkan. Dengan demikian citra dibentuk dengan
foton yang sangat terbatas.
Pembentukan citra dilakukan dengan kepala kamera bergerak mengelilingi
pasien mengambil data dari berbagai sudut. Pengambilan data dapat secara
kontinu (continues acquisition) selama kepala kamera bergerak, ataupun pada
saat kepala kamera berhenti pada suatu sudut tertentu (step and shoot
acquisition). Bila kepala kamera dapat membentuk citra ideal, maka gerakan
kepala kamera dari atas dan bawah pasien secara berbarengan dengan gerakan 180°
harusnya telah dapat dipakai untuk rekonstruksi citra transversal.
Atenuation medium (setengah
ketebalan pasien) mengurangi foton yang sampai pada head detektor, mengakibatkan
blur/kekaburan citra yang dipengaruhi oleh jarak dari kolimator. Untuk
mengurangi blur akibat gerakan kepala kamera, pesawat model baru dilengkapi
dengan sistem untuk gerakan kamera mengikuti body contouring.
Untuk brain SPECT, memungkinkan
gerakan kepala kamera dengan radius relatif lebih pendek, sehingga resolusi
spasial dalam citra menjadi tinggi. Pada pesawat lama, pemeriksaan kepala yang
memasukkan base of the brain (pangkal otak) yang harus melewati bahu,
mendapatkan kesulitan. Namun pada pesawat modern sudah dapat dilakukan pencitraan
kepala/brain dengan memasukkan bahu pasien pada lapangan gerakan kepala kamera.
Dari data piksel citra lapisan transversal dapat dibentuk citra coronal dan
sagital. Untuk pencitraan jantung, diperlukan citra oblique dengan arah paralel
ataupun tegak lurus sumbu panjang ventrical kiri. Karena anatomi setiap pasien
unik, maka sumbu panjang jantung pada monitor harus ditandai terlebih dahulu.
Kolimator yang umum digunakan pada pesawat SPECT adalah kolimator
parallel-hole. Namun telah diciptakan pula berbagai kolimator khusus. Sebagai
contoh, fan beam kolimator yang merupakan hibrida dari kolimator konvergen dan
paralel. Setiap baris piksel pada paralel kolimator arah y sesuai dengan satu
slice citra proyeksi. Dengan kolimator konvergen, citra hasil citra akan
mempunyai resolusi spasial lebih tinggi dibanding dengan arah kolimator
parale-hole.
Untuk mengurangi keterbatasan SPECT akibat kolimator dan waktu pengambilan
data, telah dibuat SPECT yang dilengkapi dengan dua atau tiga kamera sintilasi
yang dapat bergerak mengelilingi pasien. Dengan multi kepala kamera
dimungkinkan untuk menggunakan kolimator resolusi relatif tinggi pada suatu
batas kuantum mottle dalam pencitraan dibanding dengan kepala kamera tunggal.
Kepala kamera dobel saling berhadapan (180°) cocok untuk kepala dan leher,
serta seluruh tubuh. Triple head, fixed angle camera bagus untuk head and neck
serta tubuh, namun tidak cocok untuk planar seluruh tubuh, karena keterbatasan
lebar kristal. Double head, dengan sudut variabel sudut lebih serba guna, dapat
untuk pencitraan head and neck, whole body planar dengan konfigurasi 180°,
serta untuk jantung dengan konfigurasi 90°. Bila dua kamera pada posisi 90°,
keduanya tidak dapat dekat pasien tanpa sebagian tubuh pasien berada di luar
FOV. Oleh karenanya diciptakan SPECT yang dilengkapi dengan kepala kamera
dengan konfigurasi saling membentuk sudut 76°.
Positron Emission Tomography (PET)
PET membentuk citra distribusi nuklida pemancar positron dalam tubuh. Pada
PET scanner beberapa barisan lingkar detektor mengelilingi pasien. Pencitraan
menggunakan annihilation coincidence detection (ACD) sebagai pengganti
kolimator untuk memperoleh proyeksi distribusi aktivitas dalam tubuh. Sistem
komputer merekonstruksi citra tranversal dari data proyeksi. PET modern
merupakan pesawat multislice, dapat mengambil citra sebanyak 45 slice sepanjang
16 cm. Meskipun berbagai radiofarmaka pemancar positron yang dapat digunakan
dalam pemeriksaan dengan PET, namun yang umum dipakai saat ini adalah 18
fluorodeoxyglucose (FDG), glukosa yang dapat untuk membedakan neoplasma
malignant dan jaringan jinak, staging neoplasma malignant, dan berbagai
aplikasi lainnya.
Pancaran positron mengikuti reaksi inti berikut:
Sebagai contoh unsur 18F yang memancarkan positron,
Positron dengan kinetik energi akan berinteraksi dengan medium
sekelilingnya, menghasilkan ionisasi dan eksitasi. Pada saat energinya habis,
mendekati diam, positron akan menangkap elektron diam, dan berubah menjadi 2
foton, masing-masing dengan energi 0.511 MeV dengan arah saling berlawanan.
Proses demikian dikenal sebagai proses annihilasi. Dalam zat cair ataupun padat
sebelum proses annihilasi positron bergerak hanya dalam jarak dekat.
Bila kedua foton hasil anihilasi berinteraksi dengan detektor, maka kedua
detektor tentunya akan berada pada satu garis sesuai dengan arah kedua foton.
Rangkaian yang dapat mengidentifikasi interaksi dalam waktu bersamaan disebut
annihilation coincidence detection (ACD).
A true coincidence merupakan interaksi simultan berasal dari satu transformasi
nukklir. A random coincidence yang sering juga disebut accidental atau chance
coincidence, menyerupai koinsidens sebenarnya, terjadi pada saat pancaran dari
transformasi nuklir berbeda berinteraksi dengan detektor secara simultan. A
scatter coincidence terjadi bila satu atau kedua foton dari satu anihilasi
dihamburkan, tetapi keduanya terdeteksi. Koinsidens hamburan dan koinsidens
sembarang menjadi noise dalam pembentukan citra dan mengurangi kontras citra.
Kristal sintilasi yang digabung dengan PMT (photomultiplier) dipakai
sebagai detektor dalam PET. Pada permulaan PET scanner, setiap kristal
sintilasi dihubungkan dengan satu PMT, ukuran kristal berkontribusi besar dalam
menentukan resolusi spasial citra, sehingga mengurangi ukuran kristal akan
menaikkan resolusi, namun menambah jumlah kristal. Desain PET modern
menggunakan kristal besar dengan lebih dari satu PMT.
Material sintilasi harus memancarkan cahaya secepatnya agar interaksi
koinsidens sebenarnya dapat dibedakan dengan koinsidens sembarang dan
mengurangi kehilangan cacahan dalam laju interaksi tinggi akibat dead-time. Selain
itu untuk meningkatkan efesiensi, material harus mempunyai koefesien linier
atenuasi tinggi untuk foton 0.511 MeV.Saat ini PET umumnya menggunakan kristal
bismuth germanate (Bi4Ge3O12) yang sering
disingkat sebagai BGO. Output cahaya BGO hanya 12% - 14% dari NaI(Tl), namun
densitas dan nomer atom efektif yang lebih tinggi mengakibatkan efesiensi
mendeteksi foton 0.51 MeV meningkat. Material sintilasi lain adalah lutetium
oxyorthosilicate (Lu2SiO4O) yang disingkat LSO dan
gadolinium oxyorthosilicate (Gd2SiO4O) disingkat GSO, dan
keduanya diaktivasi dengan cerium. Keduanya menghasilkan cahaya lebih cepat
sehingga dapat memiliki kinerja yang lebih baik pada laju interaksi tinggi,
mengurangi efek dead time dalam membedakan koinsidens sebenarnya dan sembarang.
Sayangnya LSO sedikit mengandung radioisotop (Lu alami mengandung 2.6% Lu 176
yang radioaktif)
Sumber :http://www.babehedi.com/search/label/SPECT-PET
Sumber :http://www.babehedi.com/search/label/SPECT-PET
Tidak ada komentar:
Posting Komentar